Satukota.com – Ancaman terhadap pemilu yang bebas dan adil kini menjadi isu nyata yang semakin mendekat ke kehidupan masyarakat Indonesia.
Meski demokrasi sering digambarkan sebagai sistem ideal, faktanya tantangan terhadap integritas pemilu kerap muncul secara halus dan personal.
Berbagai bentuk penyimpangan pemilu telah terjadi, bukan hanya di tingkat nasional, tetapi juga dalam lingkup lokal dan keseharian warga.
Fenomena ini menunjukkan bahwa menjaga suara rakyat bukan hanya tanggung jawab lembaga negara, tetapi juga tugas kolektif warga sebagai pemilih.
Dalam praktiknya, banyak warga yang merasa skeptis terhadap proses pemilihan umum.
Anggapan bahwa suara mereka tidak akan mengubah hasil akhir membuat sebagian orang memilih untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Padahal, menurut data dari lembaga Global State of Democracy, dalam lima tahun terakhir, lebih dari 40% negara di dunia menghadapi pelanggaran dalam proses elektoral.
Indonesia tidak terkecuali dalam statistik tersebut.
Pemilu 2019 mencatat realita mengejutkan, dengan lebih dari 530 petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan menjalankan tugas dalam sistem yang belum sepenuhnya siap.
Hal ini mengindikasikan bahwa tantangan demokrasi di Indonesia bukan hanya soal teknis, tapi juga menyangkut keselamatan dan efektivitas manajemen pemilu.
Di balik layar tempat pemungutan suara, berbagai bentuk kecurangan dapat ditemukan.
Mulai dari pemilih yang ditolak hanya karena kesalahan kecil pada dokumen identitas, hingga desas-desus bahwa calon tertentu sudah “ditentukan” jauh sebelum pemilu digelar.
Salah satu insiden yang banyak terjadi adalah ketika pemilih ditolak karena perbedaan satu huruf pada e-KTP dengan data DPT.
Kesalahan birokratis semacam ini, walau terlihat sepele, pada kenyataannya bisa menggugurkan hak pilih ribuan warga negara.
Tak kalah berbahaya, politik uang menjadi ancaman laten terhadap prinsip kebebasan memilih.
Dalam sebuah kontestasi pemilihan wali kota di Jakarta, praktik pembagian uang dan kupon sembako sempat marak ditemui.
Meski telah diatur secara tegas dalam undang-undang sebagai tindak pidana pemilu, praktik ini terus berulang karena lemahnya pengawasan dan minimnya keberanian warga untuk melapor.
Lebih mencemaskan lagi, gelombang disinformasi melalui media sosial menjadi senjata baru yang sulit dilacak.
Penyebaran konten palsu, manipulasi foto, dan meme politis yang menyesatkan kerap menjadi alat propaganda yang efektif.
Menurut riset dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) seperti dilansir dari https://turkeconom.com/category/politik/, jumlah hoaks pemilu meningkat drastis menjelang hari pencoblosan.
Sebagian besar konten hoaks ini disebarkan melalui platform percakapan pribadi seperti WhatsApp, membuatnya lebih sulit dideteksi oleh otoritas resmi.
Banyak pemilih muda yang mengaku pernah menyebarkan informasi tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu.
Kesalahan semacam ini, meski tidak disengaja, berdampak besar terhadap persepsi publik terhadap calon dan legitimasi hasil pemilu.
Kesadaran untuk melakukan verifikasi informasi, mengunjungi situs resmi KPU, dan membandingkan berita dari berbagai sumber menjadi kunci dalam melawan disinformasi.
Di sisi lain, lembaga-lembaga pemantau pemilu seperti Perludem, Kawal Pemilu, dan jaringan relawan independen memainkan peran penting dalam menjaga transparansi.
Mereka kerap menemukan dan mengungkap praktik pelanggaran yang tidak terdeteksi oleh aparat resmi.
Dengan melibatkan diri sebagai relawan, warga bisa menyaksikan langsung proses pemilu serta mencegah terjadinya kecurangan di lapangan.
Selain itu, penting bagi warga untuk memahami bahwa partisipasi aktif bukan hanya dengan mencoblos.
Melaporkan kecurangan, mengedukasi keluarga, serta memverifikasi dokumen pribadi sebelum hari pemilihan adalah bagian dari kontribusi terhadap demokrasi yang sehat.
Salah satu kekeliruan umum adalah mengira bahwa politik hanya urusan elite atau influencer.
Padahal, banyak penyimpangan yang justru diungkap oleh warga biasa yang berani bersuara dan melaporkan fakta di lapangan.
Pandangan pesimistis seperti “suara saya tidak penting” atau “semua sudah diatur” hanya akan memperkuat dominasi mereka yang ingin memanipulasi sistem.
Perlu diingat, banyak hasil pemilu di daerah yang ditentukan hanya oleh puluhan hingga ratusan suara.
Setiap suara memiliki potensi untuk mengubah arah kebijakan daerah maupun nasional.
Dengan segala tantangan yang ada, demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, namun tetap menjadi alat terbaik untuk memastikan suara rakyat didengar.
Upaya menjaga integritas pemilu memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, media, dan pemilih itu sendiri.
Menjelang tahun politik 2024-2025, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga demokrasi dari berbagai ancaman, baik yang kasat mata maupun tersembunyi.
Masa depan demokrasi Indonesia tidak hanya ditentukan oleh siapa yang menang dalam pemilu, tetapi juga oleh bagaimana prosesnya dijalankan.
Dengan meningkatkan literasi pemilu, membangun kesadaran kolektif, serta menolak praktik-praktik curang, setiap warga negara dapat berperan sebagai benteng terakhir demokrasi.
Dan ketika hari pemungutan suara tiba, satu tindakan sederhana seperti datang ke TPS dan memilih dengan bijak bisa menjadi langkah besar dalam memperkuat bangsa ini.***