Satukota.com – Keseimbangan konsumsi garam dan gula menjadi perdebatan dalam dunia kesehatan karena keduanya berpotensi membahayakan tubuh bila dikonsumsi berlebihan.
Dalam kehidupan sehari-hari, garam dan gula hampir tidak bisa dilepaskan dari pola makan masyarakat Indonesia.
Keduanya memberikan rasa pada makanan, namun efek sampingnya terhadap kesehatan masih sering diabaikan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kedua zat ini memiliki pengaruh serius terhadap berbagai penyakit kronis yang umum terjadi saat ini.
Perbandingan dampak antara konsumsi garam dan gula yang berlebihan telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan pakar kesehatan.
Garam, yang mengandung natrium, berperan penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi saraf.
Namun menurut pafisalore.org, kelebihan natrium dalam tubuh dapat menyebabkan tekanan darah tinggi yang memicu komplikasi seperti penyakit jantung dan stroke.
Sementara itu, gula yang berfungsi sebagai sumber energi utama tubuh juga bisa menjadi pemicu obesitas jika dikonsumsi tanpa kendali.
Gula tambahan, terutama dalam makanan olahan, diketahui meningkatkan risiko diabetes tipe 2, kerusakan hati, dan bahkan mempercepat proses penuaan.
Menurut sejumlah studi kesehatan global, rata-rata konsumsi garam dan gula masyarakat modern melampaui batas yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO merekomendasikan konsumsi garam tidak lebih dari 5 gram per hari, atau setara satu sendok teh kecil.
Untuk gula tambahan, batas konsumsi harian yang disarankan adalah sekitar 25 gram atau enam sendok teh.
Namun kenyataannya, banyak orang tanpa sadar mengonsumsi lebih dari dua kali lipat dari batas aman tersebut, terutama dari makanan cepat saji dan minuman kemasan.
Bahaya gula yang cenderung tersembunyi membuatnya lebih sulit dikendalikan dibanding garam.
Gula sering kali tidak terasa mencolok karena hadir dalam bentuk fruktosa, glukosa, atau sirup jagung tinggi fruktosa dalam produk-produk olahan.
Sebaliknya, rasa asin pada garam bisa langsung dirasakan dan lebih mudah disadari apabila penggunaannya berlebihan.
Dalam konteks ini, sebagian ahli menilai bahwa gula memiliki sifat adiktif yang lebih kuat dibandingkan garam.
Kandungan gula dalam makanan dapat merangsang pusat kesenangan di otak, serupa dengan efek zat adiktif lainnya.
Hal ini membuat seseorang cenderung ingin terus mengonsumsi makanan manis tanpa menyadari konsekuensi jangka panjangnya.
Sementara itu, garam lebih identik dengan dampak langsung terhadap tekanan darah, yang gejalanya bisa dirasakan dalam jangka pendek.
Namun, efek jangka panjang dari konsumsi garam yang tinggi juga tidak bisa diabaikan, seperti kerusakan ginjal dan pengerasan pembuluh darah.
Menariknya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kombinasi antara kelebihan garam dan gula dapat memperburuk kondisi metabolik secara signifikan.
Keduanya bisa meningkatkan resistensi insulin, mempercepat penumpukan lemak viseral, serta memicu peradangan kronis.
Hal ini tentu menambah urgensi bagi masyarakat untuk mulai sadar dan mengendalikan konsumsi keduanya.
Di tengah kampanye hidup sehat yang semakin gencar, edukasi soal bahaya garam dan gula masih sering terabaikan di tingkat rumah tangga.
Banyak orang tua yang masih memberikan minuman manis dan camilan tinggi gula kepada anak-anak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan jangka panjang.
Hal serupa juga berlaku untuk kebiasaan menambahkan garam berlebih saat memasak, dengan alasan meningkatkan cita rasa.
Padahal, pola makan sehat dimulai dari kesadaran individu terhadap bahan-bahan dasar yang digunakan sehari-hari.
Mengurangi garam dan gula secara bertahap adalah langkah paling realistis dan efektif yang bisa diambil saat ini.
Masyarakat juga didorong untuk membaca label nutrisi pada kemasan makanan dan minuman guna mengetahui kadar gula dan natrium di dalamnya.
Langkah sederhana seperti mengganti minuman manis dengan air putih atau menggunakan rempah-rempah sebagai pengganti garam dapat membantu mengurangi risiko penyakit kronis.
Pada akhirnya, membandingkan mana yang lebih berbahaya antara garam dan gula bukan sekadar soal zat mana yang memberikan dampak lebih cepat.
Keduanya sama-sama membawa risiko kesehatan serius jika dikonsumsi melebihi batas aman, dan keduanya saling memperparah bila dikombinasikan secara berlebihan dalam diet sehari-hari.
Karena itu, kesadaran akan pola makan sehat harus menjadi bagian dari gaya hidup, bukan sekadar tren sesaat.***