Satukota.com – Dilansir dari incaberita, kasus kekerasan yang dilakukan oleh pengajar terhadap murid kembali menjadi sorotan publik di Indonesia, tepatnya kasus oknum guru yang menendang murid di atas meja.
Perhatian masyarakat terhadap isu ini meningkat seiring dengan adanya sanksi tegas yang mulai diterapkan oleh pemerintah.
Tidak hanya sanksi pidana berupa penjara, tetapi juga denda dalam jumlah besar siap menjerat para pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan.
Perlindungan bagi anak di lingkungan pendidikan telah diatur secara tegas dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah melalui UU No. 35 Tahun 2014.
Pasal tersebut menyatakan bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, kejahatan seksual, hingga kejahatan lainnya.
Perlindungan ini harus diberikan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, maupun masyarakat secara kolektif.
Lebih lanjut, Pasal 76C Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 menegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Bagi pelaku kekerasan, Pasal 80 dalam undang-undang yang sama merinci sanksi pidana yang cukup berat.
Pendidik yang melanggar ketentuan tersebut dapat dipidana penjara hingga 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp72 juta.
Jika kekerasan yang dilakukan menyebabkan luka berat, maka hukuman meningkat menjadi maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta.
Apabila murid menjadi korban hingga meninggal dunia, pelaku diancam penjara hingga 15 tahun dan/atau denda sebesar Rp3 miliar.
Sanksi tersebut bisa lebih berat jika pelaku merupakan orang tua korban, dengan tambahan sepertiga dari hukuman dasar.
Berbagai jenis kekerasan dapat terjadi di lingkungan sekolah, dan semuanya diakui sebagai pelanggaran hukum.
Kekerasan fisik mencakup pemukulan, penamparan, hingga tindakan lainnya yang menyebabkan cedera pada murid.
Kekerasan verbal mencakup hinaan, cacian, atau ancaman yang berdampak pada psikologis siswa.
Kekerasan psikologis sering kali terjadi dalam bentuk pengucilan sosial, intimidasi, atau perlakuan tidak adil yang menyebabkan trauma mental.
Yang paling berat adalah kekerasan seksual, di mana pendidik menyalahgunakan posisinya untuk melakukan tindakan asusila terhadap siswa.
Dampak kekerasan terhadap murid tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi bisa berlangsung lama dan mempengaruhi masa depan mereka.
Trauma psikologis menjadi beban utama yang dirasakan siswa korban kekerasan, bahkan hingga bertahun-tahun setelah kejadian.
Murid yang menjadi korban umumnya mengalami penurunan motivasi belajar dan prestasi akademik yang signifikan.
Masalah sosial juga muncul, seperti kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dengan teman sebaya.
Untuk menekan angka kekerasan dalam dunia pendidikan, berbagai sanksi administratif dan hukum kini telah diterapkan.
Sekolah dapat memberikan sanksi berupa teguran tertulis, skorsing, hingga pemecatan terhadap guru yang terbukti melakukan kekerasan.
Selain itu, guru yang terlibat dapat dikenai proses hukum pidana dengan hukuman penjara dan denda sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Sanksi tambahan seperti pencabutan sertifikat mengajar juga dapat diberikan bagi pelaku kekerasan berat.
Korban kekerasan juga berhak atas kompensasi yang dapat diperoleh melalui mediasi sekolah atau gugatan hukum.
Untuk mencegah kekerasan di masa mendatang, sejumlah langkah preventif terus digalakkan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan.
Pelatihan manajemen kelas, pengendalian emosi, dan komunikasi efektif wajib diikuti oleh para pendidik.
Kebijakan anti-kekerasan kini mulai diterapkan secara eksplisit dalam tata tertib sekolah, lengkap dengan mekanisme sanksi.
Sistem pelaporan juga mulai dimodernisasi, di mana siswa dapat melapor melalui platform digital secara aman dan anonim.
Dukungan psikologis menjadi aspek penting yang kini mulai disediakan oleh sekolah dalam bentuk layanan konseling bagi murid yang mengalami tekanan.
Namun, penegakan hukum saja tidak cukup tanpa kesadaran kolektif dari seluruh masyarakat pendidikan.
Guru harus memahami bahwa tugas utama mereka bukan hanya mengajar, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman dan mendidik secara positif.
Sekolah harus memperkuat sistem pengawasan terhadap perilaku guru serta mempercepat penanganan laporan kekerasan agar tidak ada korban baru.
Masyarakat, terutama orang tua murid, juga harus berperan aktif mengawasi dan melaporkan setiap indikasi kekerasan yang terjadi.
Pemerintah pun diharapkan meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan regulasi di sekolah dan memastikan semua instrumen hukum diterapkan dengan konsisten.
Kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan tidak boleh lagi dianggap hal wajar atau bagian dari disiplin.
Dengan regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas, Indonesia diharapkan mampu menciptakan ruang belajar yang bebas dari rasa takut dan kekerasan.***