Terima kasih sudah mengunjungi Satukota.com

DMCA  PROTECTED

Edu, Viral  

Dampak Psikis Anak Akibat Kekerasan oleh Pendidik di Lingkungan Sekolah Indonesia

Dampak Psikis Anak Akibat Kekerasan oleh Pendidik di Lingkungan Sekolah Indonesia
Ilustrasi anak korban kekerasan di sekolah mengalami tekanan mental. (Foto: Pixabay/ VietFotos)

Satukota.com – Kekerasan oleh pendidik terhadap siswa di lingkungan sekolah memberikan dampak psikis jangka panjang yang sering kali luput dari perhatian.

Fenomena ini terus menjadi sorotan karena menyangkut kesehatan mental anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.

Sebelumnya, video viral guru tendang murid di atas meja menjadi perbincangan hangat di jagat maya dan kembali menyoroti sistem pendidikan di Indonesia.

Kasus-kasus kekerasan di sekolah tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga dalam bentuk verbal dan emosional yang kerap sulit dilacak.

Kekerasan di dunia pendidikan masih menjadi persoalan serius yang belum sepenuhnya tertangani dengan efektif di Indonesia.

Meskipun regulasi terkait perlindungan anak sudah tersedia, praktik di lapangan menunjukkan masih banyak anak yang mengalami tekanan psikis akibat perilaku pendidik.

Berbagai laporan mengungkapkan bahwa kekerasan verbal seperti hinaan, ejekan, dan bentakan masih sering dijumpai dalam proses belajar mengajar.

Dalam jangka panjang, kekerasan semacam itu menyebabkan anak merasa cemas, kehilangan kepercayaan diri, dan enggan berpartisipasi dalam kegiatan kelas.

Bahkan, dalam beberapa kasus, korban kekerasan mengalami trauma yang memengaruhi prestasi akademik dan hubungan sosial mereka.

Psikolog pendidikan menilai bahwa kekerasan oleh guru atau tenaga pendidik memberikan luka emosional lebih dalam dibandingkan dengan kekerasan dari teman sebaya.

Anak yang mengalami kekerasan dari sosok yang semestinya memberikan perlindungan dan pembinaan cenderung merasa terkhianati dan bingung.

Rasa aman dan nyaman di lingkungan sekolah pun memudar, sehingga sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar yang menyenangkan, melainkan sumber tekanan.

Lembaga Perlindungan Anak Nasional mencatat peningkatan laporan kekerasan anak di sekolah dalam lima tahun terakhir, terutama di tingkat SD dan SMP.

Data ini menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan masih memiliki tantangan besar dalam membangun iklim yang ramah dan mendukung bagi perkembangan anak.

Dalam banyak kasus, kekerasan di sekolah tidak pernah sampai ke ranah hukum karena minimnya kesadaran orang tua maupun pihak sekolah sendiri.

Selain itu, ada kecenderungan pihak sekolah menyelesaikan secara internal tanpa melibatkan lembaga terkait demi menjaga nama baik institusi.

Kondisi ini menciptakan ruang abu-abu yang memungkinkan kekerasan terus terjadi tanpa adanya efek jera bagi pelaku maupun perlindungan maksimal bagi korban.

Penting bagi institusi pendidikan untuk memahami bahwa konsekuensi psikologis terhadap anak bisa berlangsung hingga dewasa.

Anak yang mengalami kekerasan cenderung mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan dalam kasus ekstrem menunjukkan gejala PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Dampak lainnya adalah munculnya perilaku agresif atau justru menarik diri dari lingkungan sosial, yang keduanya berisiko terhadap perkembangan sosial anak.

Tidak sedikit anak korban kekerasan yang kemudian menunjukkan penurunan minat belajar hingga memilih putus sekolah karena merasa tidak dihargai dan aman.

Peran pendidik sangat vital dalam membentuk karakter dan kepercayaan diri anak, sehingga penting bagi mereka untuk memiliki pelatihan psikologis dasar.

Sayangnya, tidak semua pendidik mendapatkan pelatihan tentang pendekatan pembelajaran yang mendukung kesehatan mental siswa.

Kurikulum pendidikan yang menitikberatkan pada pencapaian nilai akademik terkadang melupakan aspek emosional peserta didik.

Idealnya, lingkungan sekolah harus menjadi ruang yang mendorong tumbuhnya rasa percaya, empati, dan penghargaan terhadap setiap individu.

Untuk mencegah kekerasan, dibutuhkan sistem pengawasan dan pelaporan yang transparan dan akuntabel di setiap sekolah.

Selain itu, keterlibatan aktif orang tua dalam mendampingi dan mengamati perubahan perilaku anak menjadi kunci utama untuk mendeteksi adanya potensi masalah psikis.

Pemerintah melalui Kemendikbudristek perlu memastikan bahwa kebijakan perlindungan anak bukan hanya berhenti di atas kertas, tetapi diterapkan secara konkret dan berkelanjutan.

Salah satu langkah penting adalah memastikan setiap sekolah memiliki tenaga konselor profesional yang dapat menjadi tempat aman bagi siswa melapor dan berdiskusi.

Peran media massa dan masyarakat sipil juga dibutuhkan untuk terus mengawal isu kekerasan dalam dunia pendidikan agar tidak tenggelam dalam siklus pemberitaan sesaat.***

error: Content is protected !!