Satukota.com – Perubahan iklim ekstrem yang melanda berbagai wilayah Indonesia membawa dampak serius terhadap kesehatan masyarakat.
Fenomena cuaca yang tak menentu kini bukan hanya mengancam lingkungan, tetapi juga memicu lonjakan kasus penyakit di berbagai daerah.
Kondisi ini menuntut kesadaran dan kewaspadaan lebih dari masyarakat untuk mengenali potensi ancaman kesehatan yang mungkin timbul.
Perubahan iklim yang berlangsung secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir telah memengaruhi pola hidup banyak orang, terutama di kawasan tropis seperti Indonesia.
Cuaca yang berubah-ubah secara ekstrem mulai dari hujan berkepanjangan hingga musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya menyebabkan meningkatnya kasus penyakit yang berkaitan dengan lingkungan dan kelembaban udara.
Kementerian Kesehatan RI dilansir dari pafikotaacehtengah.org mencatat adanya peningkatan penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD), infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, hingga penyakit kulit akibat perubahan suhu dan kelembaban yang drastis.
Demam berdarah, misalnya, kerap melonjak saat musim penghujan berkepanjangan karena genangan air yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti.
Sementara itu, pada musim kemarau berkepanjangan, masyarakat lebih rentan terhadap ISPA karena tingginya debu dan polusi udara yang menyertai kekeringan.
Penyakit kulit juga semakin sering ditemukan karena kurangnya ketersediaan air bersih, sehingga kebersihan tubuh sulit terjaga.
Tidak hanya itu, menurut pafiprovinsibali.org, perubahan suhu ekstrem turut berdampak pada daya tahan tubuh masyarakat yang menurun, sehingga lebih mudah terserang penyakit, terutama bagi anak-anak, lansia, dan kelompok dengan imunitas rendah.
Peningkatan suhu global bahkan dikaitkan dengan penyebaran penyakit yang sebelumnya hanya ada di daerah tropis, kini mulai muncul di wilayah subtropis.
Di beberapa daerah dataran tinggi yang dulu jarang ditemukan kasus DBD, kini mulai melaporkan adanya temuan kasus akibat meningkatnya suhu dan kelembaban lingkungan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim terhadap kesehatan semakin kompleks dan tidak bisa dianggap remeh.
Selain itu, pola konsumsi air yang tidak higienis saat musim hujan juga memperbesar risiko penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air, seperti kolera dan leptospirosis.
Banjir yang terjadi akibat curah hujan ekstrem kerap mencemari sumber air bersih, sehingga masyarakat terpaksa mengonsumsi air yang tidak layak.
Kondisi ini menciptakan rantai permasalahan kesehatan yang saling berkaitan dan dapat berujung pada kejadian luar biasa (KLB) jika tidak segera ditangani.
Untuk menanggulangi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, pemerintah dan masyarakat perlu mengambil langkah antisipatif yang komprehensif.
Langkah pencegahan pertama adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama pada musim hujan dengan menghilangkan genangan air yang bisa menjadi tempat nyamuk berkembang biak.
Kedua, masyarakat diimbau untuk selalu menggunakan masker saat musim kemarau atau saat kualitas udara memburuk, guna menghindari paparan debu dan polusi yang memicu ISPA.
Ketiga, menjaga kebersihan tangan dan tubuh, serta memastikan konsumsi air dan makanan yang higienis menjadi kunci mencegah penyebaran penyakit berbasis air.
Selain itu, edukasi kesehatan terkait dampak perubahan iklim harus digencarkan melalui berbagai platform, agar masyarakat memahami pentingnya pencegahan sejak dini.
Pemantauan kondisi kesehatan secara rutin dan peningkatan layanan kesehatan di daerah rawan bencana juga harus menjadi prioritas, agar penanganan kasus dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.
Di sisi lain, peran aktif pemerintah dalam penyediaan infrastruktur sanitasi yang layak, sistem peringatan dini penyakit, serta kampanye kesadaran lingkungan menjadi elemen penting dalam mitigasi risiko jangka panjang.
Masyarakat juga dianjurkan untuk mulai beradaptasi dengan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, seperti mengurangi emisi karbon pribadi, menanam pohon, hingga menghemat energi dan air.
Perubahan iklim memang tidak bisa dihindari sepenuhnya, namun dampaknya bisa dikendalikan jika setiap pihak berkomitmen untuk menjaga lingkungan dan kesehatan bersama.***