Satukota.com – Uji klinis obat adalah proses yang sangat penting dalam pengembangan obat baru untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya sebelum disetujui untuk digunakan secara luas.
Proses ini melibatkan serangkaian uji yang ketat dan dibagi menjadi beberapa fase, yang diatur oleh badan pengawas obat, seperti Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat atau European Medicines Agency (EMA) di Eropa, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia.
Tahapan awal dari uji klinis adalah fase pre-klinis, di mana obat yang dikembangkan diuji pada sistem in vitro (dalam laboratorium) dan in vivo (pada hewan).
Tujuannya adalah untuk menilai potensi efektivitas obat dan mengetahui toksisitasnya. Uji pre-klinis ini memberikan informasi penting tentang keamanan dan cara kerja obat sebelum diuji pada manusia.
Menurut National Institutes of Health (NIH), tahapan ini menjadi landasan penting untuk memastikan bahwa obat tidak akan membahayakan sebelum masuk ke fase uji pada manusia .
Setelah fase pre-klinis, obat akan masuk ke fase 1 uji klinis. Pada fase ini, obat diuji pada sekelompok kecil manusia sehat (biasanya 20-100 orang) untuk mengevaluasi keamanan dasarnya, termasuk efek samping, cara kerja obat dalam tubuh (farmakokinetik), dan dosis yang aman.
Fase ini berfokus pada keamanan obat dan bertujuan mengidentifikasi potensi efek samping berbahaya. Menurut Mayo Clinic, fase 1 ini sangat penting dalam mengurangi risiko pada fase uji yang lebih besar .
Fase 2 adalah tahap berikutnya, di mana uji klinis dilakukan pada populasi yang lebih besar, biasanya terdiri dari ratusan pasien yang memiliki kondisi medis terkait dengan obat yang diuji.
Fase ini mengevaluasi efektivitas obat serta keamanan jangka panjangnya. Selain itu, dalam fase ini, dosis yang optimal juga lebih dikaji untuk memastikan bahwa obat tersebut memberikan manfaat klinis .
Fase 3, yang merupakan fase akhir uji klinis, dilakukan pada ribuan pasien di berbagai lokasi.
Fase ini bertujuan untuk memastikan bahwa obat tersebut efektif dan aman untuk populasi yang lebih luas.
Hasil dari fase ini akan dibandingkan dengan pengobatan yang sudah ada untuk mengetahui apakah obat baru lebih baik atau setidaknya sama efektifnya dengan terapi yang ada.
Jika hasilnya positif, maka perusahaan farmasi akan mengajukan permohonan persetujuan kepada badan pengawas seperti FDA, EMA, atau BPOM .
Dilansir dari pafinusantara.org, setelah melalui fase uji klinis yang ketat, obat akan mendapatkan persetujuan dan dapat dipasarkan.
Namun, setelah obat disetujui, pengawasan tetap dilakukan melalui fase 4 (post-marketing surveillance) untuk memantau efek samping yang mungkin tidak terdeteksi pada uji klinis sebelumnya .
Sementara itu, kemajuan teknologi medis telah memungkinkan bidang baru dalam penelitian obat, yaitu farmakogenomik.