Terima kasih sudah mengunjungi Satukota.com

DMCA  PROTECTED

Viral  

Tanah Warisan Mbah Tupon di Sleman Terancam Lelang, Sertifikat Beralih Nama Tanpa Izin Keluarga

Tanah Warisan Mbah Tupon di Sleman Terancam Lelang, Sertifikat Beralih Nama Tanpa Izin Keluarga
Mbah Tupon. Sumber: Instagram/pst0re

Satukota.com – Sengketa tanah kembali mencuat di Sleman, Yogyakarta, kali ini menimpa seorang kakek bernama Mbah Tupon Hadi Suwarno yang terancam kehilangan tanah warisan seluas 1.655 meter persegi miliknya.

Pria berusia 68 tahun ini harus menghadapi kenyataan pahit setelah mengetahui sertifikat tanahnya telah berpindah tangan tanpa sepengetahuan dirinya maupun keluarga.

Tanah yang telah dikuasainya selama puluhan tahun kini berada di ambang lelang karena dijadikan jaminan kredit oleh pihak lain.

Dilansir dari https://incaberita.co.id/category/lokal/, peristiwa bermula pada tahun 2020 saat Mbah Tupon menjual sebagian kecil tanahnya seluas 298 meter persegi kepada seseorang berinisial BR.

Transaksi berlangsung dengan harga Rp1 juta per meter persegi dan dilakukan secara kekeluargaan.

Setelah transaksi tersebut, Mbah Tupon memutuskan menyumbangkan sebagian tanahnya untuk keperluan umum sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat.

Langkah itu juga disertai rencana pembagian tanah yang lebih luas, yakni 1.655 meter persegi, kepada anak-anaknya.

Untuk mewujudkan niat tersebut, ia memulai proses pemecahan sertifikat tanah menjadi empat bagian atas nama dirinya dan tiga anak kandungnya.

Namun proses berjalan tidak semulus yang diharapkan.

Pada tahun 2021, BR datang kembali dan menawarkan bantuan untuk menanggung biaya pemecahan sertifikat.

Sebagai kompensasi, BR menjanjikan pelunasan sisa pembayaran atas pembelian tanah sebelumnya senilai Rp35 juta.

Penawaran tersebut diterima oleh Mbah Tupon dengan harapan proses administrasi tanah bisa segera selesai.

Namun malang tak dapat ditolak. Pada Maret 2024, keluarga Mbah Tupon mendadak didatangi petugas dari sebuah bank.

Petugas membawa fotokopi sertifikat tanah yang mengejutkan pihak keluarga.

Tanah yang semula direncanakan untuk diwariskan kepada anak-anaknya ternyata telah berganti nama kepemilikan menjadi milik seseorang berinisial IF.

Tidak hanya itu, tanah tersebut juga telah dijaminkan dalam sebuah pengajuan pinjaman senilai Rp1,5 miliar.

Bank menginformasikan bahwa proses lelang terhadap tanah tersebut telah memasuki tahap pertama.

Situasi ini membuat keluarga Mbah Tupon terkejut dan merasa tidak pernah memberikan persetujuan atau kuasa untuk pengalihan kepemilikan tersebut.

Menurut penelusuran keluarga, dugaan kuat mengarah pada adanya manipulasi dokumen selama proses pemecahan sertifikat.

Tanpa sepengetahuan pemilik sah, nama pada sertifikat beralih ke pihak ketiga yang tidak dikenal oleh keluarga.

Peralihan hak atas tanah tersebut diyakini dilakukan dengan cara yang tidak transparan dan melibatkan pihak luar tanpa komunikasi yang sah dengan pemilik asli.

Kini, tanah yang seharusnya menjadi jaminan masa depan bagi anak cucu Mbah Tupon justru menjadi objek sengketa dan berada di bawah ancaman pelelangan oleh pihak bank.

Keluarga berupaya mengumpulkan berbagai dokumen dan bukti sebagai dasar untuk menggugat kepemilikan tanah tersebut kembali.

Proses hukum tengah dipersiapkan untuk membatalkan kepemilikan atas nama IF dan menarik kembali hak sah atas tanah warisan keluarga tersebut.

Kasus ini pun membuka kembali persoalan lama yang kerap terjadi dalam pengurusan tanah di Indonesia.

Kurangnya pengawasan dalam proses pemecahan dan pengalihan sertifikat sering dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Fakta bahwa tanah tersebut bisa berpindah nama tanpa sepengetahuan seluruh ahli waris dan pemilik asli mengindikasikan adanya celah dalam sistem administrasi pertanahan.

Banyak kalangan menilai perlu ada reformasi mendalam terhadap mekanisme pelayanan pertanahan agar kasus serupa tidak terus berulang.

Apalagi ketika menyangkut aset-aset warga lanjut usia yang lebih rentan terhadap penipuan dan manipulasi dokumen.

Kisah Mbah Tupon menggambarkan bagaimana lemahnya perlindungan hukum terhadap pemilik tanah tradisional yang mungkin tidak akrab dengan proses digitalisasi pertanahan.

Tanpa adanya pendampingan dan edukasi, mereka berpotensi menjadi korban dari transaksi yang menguntungkan segelintir pihak.

Kini, Mbah Tupon hanya memiliki satu harapan, yakni agar sertifikat tanahnya kembali ke tangan yang benar, yakni dirinya dan anak-anaknya.

Ia dan keluarga akan menempuh jalur hukum untuk menuntut keadilan dan menegakkan hak atas tanah yang selama ini telah mereka rawat.

Di tengah ketidakpastian hukum, keluarga ini tetap memegang teguh niat untuk memperjuangkan hak warisan mereka secara sah dan berkeadilan.

Kasus ini diharapkan menjadi perhatian publik dan pemangku kebijakan agar tidak menutup mata terhadap celah-celah yang bisa merugikan rakyat kecil.

Jika tidak segera diperbaiki, sistem pertanahan yang rentan justru akan menjadi ladang empuk bagi praktik manipulatif yang menggerus keadilan sosial.

Polemik yang dihadapi Mbah Tupon juga menjadi pengingat pentingnya transparansi dalam setiap proses pertanahan, terutama ketika menyangkut generasi tua dan hak waris.

Langkah hukum yang akan ditempuh diharapkan membawa titik terang dalam upaya pengembalian hak atas tanah yang telah diwariskan secara turun-temurun.***

error: Content is protected !!